HARDIKNAS
Oleh Ibu Astuti Azis
Januari 2012
Pukul 1.30 Siang,
Terik
sempurna….sudah 15 menit kududuk didepan kompleks perumahan yang terletak pas
di jalan provinsi ini menunggu seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Yah…dia
adalah salah seorang partisipan yang akan kuwawancarai dalam rangkaian
penelitianku. Ini merupakan pertemuan keduaku dengannya tanpa kusadari siapa sesungguhnya
pahlawan ini. Kuputuskan untuk memilih dia karna responnya terhadap kuisioner
yang kuberikan padanya bulan lalu begitu unik, begitu meyakinkan, menunjukkan konsepsi
yang sangat kuat: mengajar dan melakukan penilaian untuk meningkatkan
pembelajaran. Untung saja dia melengkapi kesulurah kuisioner itu termasuk imbauanku
untuk membubuhkan nomor kontak jika bersedia diwawancarai.
Sepuluh menit
berlalu…ditempat yang sama, kusibuk memperhatikan manusia lalu lalang, maklumlah
kota kecil ini belakangan diserbu beraneka mini market, mulai dari Indo maret,
Alfa midi, Alfa express, Makro indotim dan banyak lagi. Konon katanya mereka
hanya memerlukan tempat lalu isinya akan dipenuhi oleh pihak pertokoan lantas
bagi hasil dengan pemilik tempat.
Lagu ‘Insyaaalah” milik Maher Zain mengalun
dari HPku, nomor tak kukenal, siapa yah?
“Assalamu Alaikum
ibu, maaf, saya Asmah Kartini, mau mengabarkan ini baru saya keluar dari rumah
bu, soalnya barusan tamu suami saya pulang…” suara itu terdengar ramah sekaligus
terkesan bersalah…
Kembali aku
menunggu, entah untuk berapa lama…..
Lima belas
menit kemudian, sebuah motor Honda tiger yang ditumpangi dua orang berperawakan
bongsor tepat berhenti dihadapanku.
“ Maaf
bu…membuat ibu lama menunggu” kata wanita itu setelah membuka helm tutupnya.
Oh…jadi ini
orangnya…kureka usianya sekitar awal 30-an, badannya memang besar tapi kulit
segar sedikit berminyak plus senyum yang selalu terkulum dibibirnya menandakan
ia berjiwa muda dan hangat. Kutawarkkan ia untuk memarkir motor dan menggunakan
kendaraan kami menuju Donald Mee tempat yang ia pilih untuk makan siang. Well
ini bagian dari treatment yang kuberikan pada responden penelitianku…apalagi
untuk sosok yang tak kukenal seperti bu Kartini ini.
Kami mengawali
percakapan dengan santap siang yang lezat, kucoba membangun chemistry diantara
kami, kutanya soal pengalaman mengajarnya, dengan ramah ia membuka kisah……
“Saya masih
baru bu…baru 4 tahun mengajar tapi baru saya yang PNS di sekolah saya, makanya
kepala sekolah juga menunjuk saya jadi wakilnya” katanya tersenyum bangga.
Ya, di tempat
kami ini, menjadi PNS adalah sebuah jaminan masa depan…gaji teratur, kesehatan
terjamin, dana pensiun tersedia dan boleh memarkir SK di Bank jika ada keperluan
heheh ….
Wawancara
kami berlangsung begitu santai…dia menjawab lugas semua pertanyaanku, daya
tangkapnya bagus, jawabannya selalu disertai binar mata antusias, dia terkesan perhatian,
sangat sesuai dengan respon yang diberikannya terhadap kuisionerku…
Tapi saya
lebih tertarik pada cerita tentang perjuangannya menjadi pendidik…
“Sekolah saya
bu adanya di pesisir, saat ini dalam satu sekolah kami hanya memiliki 36 orang
siswa”
“Iya bu,
sungguh..” katanya menanggapi reaksi kagetku.
“Bahkan dulu
waktu sekolah itu baru berdiri, saya mesti keliling kampung mencari siswa bu….saya
mesti meyakinkan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya, juga memastikan
kalau sekolah itu gratis”.
Di daerah ini,
sejak 4 tahun lalu bupati setempat telah menetapkan pendidikan SD-SMA gratis dalam
upaya meraup suara, bahkan siswa miskin boleh tak memakai seragam kesekolah jika
memang ia tidak mampu membelinya. Sungguh sebuah program yang sangat memihak
wong cilik. Well untuk konteks masayarakat di tempat bu Kartini ini kebijakan
serupa rasanya pas saja tapi di beberapa sekolah semisal SMK rasanya sangat
tercederai. Salah satu SMK dekat rumah saya bahkan aliran listriknya dicabut
setiap 6 bulan karena urusan dana telat hingga 4-5 bulan ementara sekolah tidak
diperkenankan memungut dana sepeserpun dari siswa.
Dia bercerita
dengan penuh semangat, sesekali menyeka keringat, juga tertawa lepas. Katanya
sumber penghasilan utama masyarakat disekitar sekolahnya adalah menganyam tikar
daun pandan atau menjual ‘bironcong’[1].
Jika anak sudah tamat SD, bisa membaca, menulis dan mampu menganyam atau
menjual bironcong maka itulah hidupnya…tak perlu lanjut SMP apalagi SMA. Katanya
kasadaran orang tua dibidang pendidikan disana sangat memprihatinkan…untunglah,
keberadaannya sebagai guru masih sangat dihormati. Dari ceritanya saya bisa menyimpulkan
bahwa imbuan bu Kartini ini masih didengar dan dipatuhi warga. Mungkin juga karna
dia adalah putri mantan kepala desa yang menjabat 2 periode.
“Sekarang
sekolah kami lebih bagus bu, karna akhirnya dijadikan SATAP (Sekolah Satu Atap)
sehingga siswa SD diupayakan bisa langsung masuk SMP, itupun saat ini masih 36
orang, yang jelas jumlah ini jauh lebih banyak dari tahun lalu” katanya
tersenyum penuh arti.
“ Saya sangat
menikmati mengajar disni bu..kebetulan ini kampung saya. Ibu tahu tidak...saya
merasa sangat berarti disini…mereka membutuhkan saya. Kalau waktu istirahat
tiba, saya sering diserbu siswa mereka minta diberi jajan, ditraktir es lilin
atau snak lainnya. Bayangkan bu…buat jajan saja mereka gak mampu apalagi kalau mereka
diminta beli buku atau kamus…aduh jauh itu”.
“Belum lagi
kendala bahasa, kalau saya ngajar bu, saya pakai tiga bahasa, mereka ini kan
bahasa Indonesianya belum lancar, jadi kalau saya beri kosa kata baru dalam
bahasa Inggris saya mesti terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia plus bahasa
Makassar” lanjutnya antusias.
Hmmm…wawancara
kami sungguh menarik, tak sabar rasanya ingin ku transkrip dan kuberikan
padanya untuk dicek. Untuk rencana ini aku memilih untuk mengunjunginya…..
Sesuai petunjuk yang diberikan di telfon,
ditemani suami, saya mengunjungi ibu Kartini yang sederhana nan perkasa
itu…lega rasanya berkendara di sepanjang hijaunya persawahan tanpa kami sadari
jika telah tersesat jauh. Alhamdulillah setelah bertanya beberapa kali sambil
menjual nama ayah bu Kartini yang mantan Kades itu kami tiba di tempatnya
dengan selamat.
Senyum ramah
mantan Kades menyambut kami, seluruh isi rumah bahkan keluar dan menyalami
kami….plus dengan senyum lebar masing-masing…ah..sambutan luar biasa. Suasana
disini terasa agak kering dan panas, beda sekali dengan areal persawahan yang
kami lewati tadi. Dari kejauhan kudengar deru ombak.
“ Di ujung jalan
ini sudah laut bu” kata bu Kartini melihatku memegang telinga….
Siang itu,
kami dijamu makan siang istimewa… lauknya sederhana tapi terasa begitu nikmat
mungkin karena disajikan dengan ihlas apalagi ikan segar itu baru saja diambil
dari perahu tetangga yang baru saja pulang melaut. Kami menyebutnya
juku eja (pink fish) dan ikan kembung,
di bakar tanpa bumbu tersaji di atas meja…disebelahnya terdapat piring kecil
berisi garam kasar, sedikit air dan Lombok biji (cabe merah). Hmm….betapa
nikmat rasanya…apalagi ditambah sayur daun kelor plus kacang ijo dimasak
seadanya, juga mengepul...Alhamdulillah.
Setalah membaca
hasil transkrip wawancara, Bu Kartini mengajakku berkunjung ke sekolah yang
berjarak beberapa meter saja dari rumahnya. Sepanjang jalan silih berganti
masyarakat sedikit membungkuk, tersenyum dan menyapa beliau dengan hormat “Bu
guru…” begitu sapa khas mereka. Beberapa orang siswa yang berpapasan,
menyempatkan diri untuk singgah mencium tangan sang guru bahkan mereka yang
sedang membantu orang tua menganyam tikarpun berlari menghambur menyapa sang
guru sebelum melanjutkan aktifitas, beberapa diantara mereka bahkan mengikuti
kami sehingga kunjungan ini terlihat seperti iring-iringan resmi.
Dalam hati saya
iri…”siswa saya gak sampai segitunya”, batinku...mungkin karna sekolah saya
letaknya di kota, hatiku berdalih…
Ucapan ‘Selamat
Datang di SATAP SalakKo’. Terpampang gagah di gerbang sekolah
“Inilah
sekolah kami bu” kata Bu kartini bangga, kulihat senyum merekah di bibir siswa
yang mengiringi kami.
Saya sedikit
terkejut, bangunan sekolah ini terbilang sangat bagus…apalagi untuk ukuran desa
seperti Salakko ini
“Sekolah ini
dibangun oleh pihak AusAid bu’ makanya kelihatannya begini, bahkan didalam lumayan
canggih, dulu WC siswa dan guru diberikan WC duduk dilengkapi dengan westafel
juga cermin…tapi hanya butuh beberapa bulan lalu kloset-kloset itu rusak, itu
karna masyarakat disini tidak biasa buang air dengan duduk”. Papar bu Kartini
lagi, siswanya terlihat sedikit malu, mungkin merasa disindir…
Hmmm ini
sangat kupahami…cerita serupa seringkali kudengar dari teman yang mengajar di
pelosok dengan sekolah bantuan AusAid, itu karna mereka kurang lebih mengikuti
standard penyandang dana padahal masyarakat setempat belum siap untuk hal
serupa.
Bu Kartini terus
berkisah….”Disini bu, kalau kelas satu biasanya jumlah siswa bisa sampai 15
hingga 17 orang, tapi kalau masuk musim
panen akan berkurang karna beberapa siswa memilih menjadi buruh musiman[2]
untuk membantu keluarganya, naik ke kelas 2 jumlah siswa akan semakin berkurang
begitu seterusnya, pokoknya kami disini menempuh segala cara untuk membuat
siswa betah”.
Dia juga
melanjutkan cerita bahwa tahun lalu adalah kali pertama sekolah itu mengikuti Ujian
Akhir Nasional. Seyogyanya ada 6 orang siswa yang ikut tes tapi seorang siswa
lebih memilih menjual bironcong daripada mengejar ijasah SMP. Akhirnya katanya
hanya 5 siswa yang diikutkan.
“ Itu lagi
bu, masa sehari menjelang ujian, satu orang siswa kawin lari!”
“Masyaallahh!
Bu”
“Janganmaki
bu”, katanya menimpali keterkejutanku dengan logat Makassar yang begitu kental,
“Tiga rumah imam kudatangi baru kudapat itu anak”.
Di Makassar, orang
yang kawin lari akan menetap di rumah seorang Imam desa yang berfungsi sebagai the guardian kedua sejoli sebelum mereka
kembali ke keluarga.
“Bayangkan Bu…subuh-subuh
saya jemput itu anak di rumah pak imam lalu dikawal pak imam dan seorang polisi
kami menuju sekolah untuk ujian, tiga hari bu, tiga hari setiap subuh saya
jemput, alhamdulilah anak itu lulus ujian!”
You know what! Ini pekerjaan yang penuh resiko lho! Mungkin anda pernah
mendengar istilah Sirik na Pacce yang
jadi pegangan orang Makassar. Prinsip ini mengajarkan tentang kehormatan dan
kepedulian. Pelaku kawin lari adalah pelanggar adat, dia telah menghilangkan Sirinya (kehormatanya) dan membuat malu
keluarganya sehingga dia tak layak dipaccei
(tak perlu dipedulikan lagi). Dalam hukum adat di tempat kami, jika seorang
pelaku kawin lari ditemukan oleh tumasirik
atau keluarganya, maka dia bisa langsung ‘dihabisi’ di tempat itu! Untuk itulah
makanya Bu Kartini bahkan melibatkan polisi untuk menjaga keamanan si anak
tadi…subhanallah…
Bulu kuduk
saya berdiri mendengar uraiannya ini, saat itu yang ada di fikiran saya adalah
beliau ini pantas diundang Andy F Noya sebagai tamu untuk talkshow Kick Andy yang
terkenal itu. Ah sudahlah at least saya bisa membaginya pada anda di Wellington
ini….yah pejuang pendidikan nan sederhana, perkasa dan berani itu itu bernama
Kartini….
0 comments:
Post a Comment