KISAH SEORANG
VETERAN
Oleh Silviana D W
Di siang yang terik
itu, Pak Salimin berjalan terseok-seok di sudut jalan kota Jakarta yang berdebu
sambil sesekali berteriak lirih, “Buah.. Siapa mau beli, buah.. Buah pepaya
manis...” Beratnya pikulan dan teriknya matahari yang menaungi bumi Jakarta
siang itu tak terasakan olehnya. Peluh yang bercucuran di kening di sekanya
dengan lengan baju kotornya dengan lemah. Sesekali air mata menetes di
pipi keriput tuanya. Pandangannya memudar. Masih terngiang di benak Pak Salimin
percakapannya dengan Dokter Puskesmas kemarin siang.
“Cucu Bapak kena demam berdarah. Penyakit Prihantono lumayan cukup parah. Prihantono harus segera di bawa ke rumah sakit sebelum terlambat.”
Tapi sayangnya, surat saktinya sebagai veteran di negara tercinta ini tidak berlaku di rumah sakit tersebut.
Petugas administrasi rumah sakit tersebut berkata dengan lemah lembut namun tegas kalau Pak Salimin harus membayar uang muka terlebih dahulu sebelum berobat.
Pak Salimin melenguh. Pikulannya semakin terasa berat di pundak kurusnya. Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu sedangkan untuk makan hari ini saja ia tidak punya.
Pernah terlintas di benak tuanya andaikata pada saat berjuang dulu ia mau ikut bujukan teman seperjuangannya untuk ikut bekerjasama dengan pihak negara asing, pasti keadaannya tidak akan seperti sekarang ini.
“Cucu Bapak kena demam berdarah. Penyakit Prihantono lumayan cukup parah. Prihantono harus segera di bawa ke rumah sakit sebelum terlambat.”
Tapi sayangnya, surat saktinya sebagai veteran di negara tercinta ini tidak berlaku di rumah sakit tersebut.
Petugas administrasi rumah sakit tersebut berkata dengan lemah lembut namun tegas kalau Pak Salimin harus membayar uang muka terlebih dahulu sebelum berobat.
Pak Salimin melenguh. Pikulannya semakin terasa berat di pundak kurusnya. Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu sedangkan untuk makan hari ini saja ia tidak punya.
Pernah terlintas di benak tuanya andaikata pada saat berjuang dulu ia mau ikut bujukan teman seperjuangannya untuk ikut bekerjasama dengan pihak negara asing, pasti keadaannya tidak akan seperti sekarang ini.
-----
Salimin muda baru saja menyelesaikan pendidikan perguruannya di kota Bandung sesaat setelah Jepang menduduki Indonesia. Pada saat itu ia ikut berjuang melawan penjajahan Jepang di kota Bandung. Setelah Jepang di halau dari bumi Indonesia tercinta, salah seorang sahabat Pak Salimin membujuknya untuk ikut bekerja di perusahaan tambang yang tak lain adalah sebuah perusahaan asing yang secara terselubung menjual kekayaan tambang Indonesia ke negara asing. Salimin muda yang tidak mengetahui adanya kecurangan itu sempat bekerja beberapa tahun di perusahaan tersebut. Hal yang tidak sesuai dengan hati nuraninya membuat Salimin muda memilih meninggalkan kota Bandung dan menjadi guru yang jujur di sebuah sekolah kecil di pinggiran kota Jakarta.
Awalnya kehidupan Pak Salimin tidaklah berkekurangan. Tetapi semua mulai berubah ketika putri semata wayangnya wafat saat melahirkan Prihantono. Karena tidak tahan menanggung sedih, Ayah Prihantono memilih untuk pergi meninggalkan Prihantono untuk di asuh Pak Salimin dan isterinya. Mereka dengan penuh kasih sayang mendidik Prihantono.
Kehidupan Pak Salimim
berubah drastis ketika tumor ganas merenggut nyawa isterinya. Hartanya habis
untuk biaya pengobatan, meninggalkan Pak Salimin dan Prihantono hidup dalam
kepapaan. Mereka mencoba bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota
Jakarta.
Di usia pensiun tidak ada yang bisa Pak Salimin kerjakan kecuali dengan berjualan buah-buahan untuk menyambung hidup. Meski demikian, hal tersebut tidak membuatnya mengeluh.
Di usia pensiun tidak ada yang bisa Pak Salimin kerjakan kecuali dengan berjualan buah-buahan untuk menyambung hidup. Meski demikian, hal tersebut tidak membuatnya mengeluh.
Namun perjuangan Pak
Salimin rupanya belum berakhir. Cobaan demi cobaan bertubi-tubi menimpanya. Hal tersebut di perparah dengan munculnya penyakit
yang di derita Prihantono.
Pak Salimin tak ingin
menyerah. Sampai akhirnya, teman
seperjuangan Pak Salimin berusaha membujuknya untuk mau menerima uang sumbangan yang berasal dari perusahaan
tambang tersebut.
Pak Salimin menghela
napas panjang.
“Astaghfirullah al
azim..” ucapnya perlahan. “Walau bagaimana pun tidak akan pernah aku mau
menjual negara ku untuk negara lain hanya karena kepentingan pribadiku
sendiri.” Cobanya untuk menghalau
kenangan-kenangan sedih dari benaknya.
-----
Tengah melamun, Pak
Salimin dikejutkan dengan kedatangan serombongan anak muda yang tiba-tiba menyerbu
pikulan buah Pak Salimin. "Kami borong pepayanya ya Pak." kata
mereka. "Kami ingin memberi dukungan pada kawan-kawan yang sedang
melakukan aksi unjuk rasa menentang privatisasi perusahaan tambang Pak. Mereka
berunjuk rasa seharian di depan istana. Kelaparan. Semoga pepaya ini bisa
memberi tambahan energi, agar pemerintah mau mendengar suara kami untuk tidak
menjual perusahaan tambang itu ke pihak asing."
Pak Salimin terkesima mendengar ucapan anak-anak muda tersebut. Prinsip anak-anak muda tersebut sama dengan prinsip yang dipegangnya selama ini. Sudah seharusnya hasil bumi ini dinikmati oleh bangsa kita sendiri. Tidak hanya untuk sekelompok orang saja. Apalagi untuk orang asing.
Tanpa ragu, "Ambil saja pepaya ini, berapa pun yang kalian mau. Tidak perlu bayar", kata Pak Salimin. "Jadikan ini sumbangan saya untuk perjuangan kalian." Katanya lagi yang membuat anak-anak muda tersebut memeluknya penuh haru.
Pak Salimin terkesima mendengar ucapan anak-anak muda tersebut. Prinsip anak-anak muda tersebut sama dengan prinsip yang dipegangnya selama ini. Sudah seharusnya hasil bumi ini dinikmati oleh bangsa kita sendiri. Tidak hanya untuk sekelompok orang saja. Apalagi untuk orang asing.
Tanpa ragu, "Ambil saja pepaya ini, berapa pun yang kalian mau. Tidak perlu bayar", kata Pak Salimin. "Jadikan ini sumbangan saya untuk perjuangan kalian." Katanya lagi yang membuat anak-anak muda tersebut memeluknya penuh haru.
Pak Salimin tidak
peduli lagi dari mana ia bisa mendapatkan biaya pengobatan Prihantono. Ia
pasrah… Tuhan pasti tidak akan diam. Wajah Pak tua Salimin memancarkan senyum.
Senyum kemenangan karena sudah mendidik dirinya untuk menjadi pribadi yang
memegang teguh prinsip kebenaran. Pribadi yang bersih dan tidak tergiur dengan
iming-iming kekayaan melalui korupsi, seperti yang dilakukan banyak teman
seperjuangannya dulu, berpesta pora menjual kekayaan negara. Tidak peduli
dengan penderitaan rakyat. Sebagai seorang penjual pepaya, Ia bersyukur masih
bisa berbagi dan berjuang demi negara yang bersih dari korupsi…
-----
Matahari memerah di
ufuk barat. Pak Salimin berjalan perlahan, kelelahan. Kebahagiaan
menyelimutinya. Tiba-tiba dari arah yang tidak terduga sebuah sedan mewah
melaju kencang hilang kendali. Pak Salimin mencoba menghindari tapi terlambat
sudah.. Ciiiittttt.. braakk.. Pak Salimin merasa gelap menyelimuti
dirinya.. Yang terasa hanya gelap dan berat.. Darah berceceran.. Pepaya jualan
Pak Salimin jatuh bertaburan bercampur merah darah. Terdengar sayup-sayup suara-suara
ramai disekelilingnya. “Ya Allah, cepat.. cepat di bantu.. Kasihan Pak Tua itu.
Bagaimana keadaannya? Apakah masih hidup? Apakah masih bernafas? Coba periksa
detak jantungnya..” Dengan cepat segerombolan orang-orang ramai mengerubungi
Pak Salimin, sebagian ingin membantu, sebagian hanya ingin melihat.. Namun sayang sekali, jiwa Pak Salimin tidak
bisa tertolong. Inalilahi wa ina ilaihi rojiun.
Nafas terakhir Pak Salimin terbang membelah angkasa. Menembus dunia keabadian.
Nafas terakhir Pak Salimin terbang membelah angkasa. Menembus dunia keabadian.
-----
Sementara itu di gubug kecil di pinggiran kota Jakarta, cucu Pak Salimin menggigil kesakitan. Dipan kayu keras tempat tubuhnya tergeletak terasa dingin bagaikan es. Suhu badannya semakin tinggi dan penyakitnya semakin parah. Kakek tercinta yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Prihantono berbisik lirih memanggil-manggil Kakeknya, tapi tak ada yang menjawab. Hanya angin yang berdesir lirih. Detak jantung Prihantono semakin melemah dan melemah.
-----
Dan pagi itu, hujan membasahi dua kuburan baru di Jakarta. Kuburan seorang veteran dan cucunya...
Wellington, 16 Juli 2012
0 comments:
Post a Comment