Logo

Logo
ppi wellington logo

CERPEN 2012

Saturday, August 18, 2012

Selamat kepada para pemenang lomba Cerita Pendek 2012, yaitu:

  • Juara I: Ibu Silviana Dewi Warli
  • Juara II: Ahmad Fachry Agam
  • Juara III: Ibu Astuti Azis
Cerpen para juara telah kami publikasikan di website ini dengan heading "JUARA I CERPEN 2012", "JUARA II CERPEN 2012" DAN "JUARA III CERPEN 2012".

Kami ingin berterima kasih kepada para juri atas bantuan dan arahan yang telah diberikan:
  • Bapak Duta Besar A Agus Sriyono (mewakili KBRI)
  • Ibu Wimmy (mewakili KAMASI)
  • Ibu Dwi Suwarningsih (mewakili PPI Wellington)
Terima kasih juga kami sampaikan kepada Things Unseen atas sponsor yang diberikan untuk hadiah pemenang Juara I.


Sekali lagi... selamat kepada para pemenang dan kami harap ditahun kedepan akan lebih banyak lagi yang ikut berpartisipasi di kompetisi ini.

Salam Pelajar,

PPI Wellington

JUARA I CERPEN 2012


KISAH SEORANG VETERAN
Oleh Silviana D W

Di siang yang terik itu, Pak Salimin berjalan terseok-seok di sudut jalan kota Jakarta yang berdebu sambil sesekali berteriak lirih, “Buah.. Siapa mau beli, buah.. Buah pepaya manis...” Beratnya pikulan dan teriknya matahari yang menaungi bumi Jakarta siang itu tak terasakan olehnya. Peluh yang bercucuran di kening di sekanya dengan lengan baju kotornya dengan lemah.  Sesekali air mata menetes di pipi keriput tuanya. Pandangannya memudar. Masih terngiang di benak Pak Salimin percakapannya dengan Dokter Puskesmas kemarin siang.

“Cucu Bapak kena demam berdarah. Penyakit Prihantono lumayan cukup parah. Prihantono harus segera di bawa ke rumah sakit sebelum terlambat.”

Tapi sayangnya, surat saktinya sebagai veteran di negara tercinta ini tidak berlaku di rumah sakit tersebut.

Petugas administrasi rumah sakit tersebut berkata dengan lemah lembut namun tegas kalau Pak Salimin harus membayar uang muka terlebih dahulu sebelum berobat.

Pak Salimin melenguh. Pikulannya semakin terasa berat di pundak kurusnya. Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu sedangkan untuk makan hari ini saja ia tidak punya.

Pernah terlintas di benak tuanya andaikata pada saat berjuang dulu ia mau ikut bujukan teman seperjuangannya untuk ikut bekerjasama dengan pihak negara asing, pasti keadaannya tidak akan seperti sekarang ini.


-----

Salimin muda baru saja menyelesaikan pendidikan perguruannya di kota Bandung sesaat setelah Jepang menduduki Indonesia. Pada saat itu ia ikut berjuang melawan penjajahan Jepang di kota Bandung. Setelah Jepang di halau dari bumi Indonesia tercinta, salah seorang sahabat Pak Salimin membujuknya untuk ikut bekerja di perusahaan tambang yang tak lain adalah sebuah perusahaan asing yang secara terselubung menjual kekayaan tambang Indonesia ke negara asing. Salimin muda yang tidak mengetahui adanya kecurangan itu sempat bekerja beberapa tahun di perusahaan tersebut. Hal yang tidak sesuai dengan hati nuraninya membuat Salimin muda memilih meninggalkan kota Bandung dan menjadi guru yang jujur di sebuah sekolah kecil di pinggiran kota Jakarta.

Awalnya kehidupan Pak Salimin tidaklah berkekurangan. Tetapi semua mulai berubah ketika putri semata wayangnya wafat saat melahirkan Prihantono. Karena tidak tahan menanggung sedih, Ayah Prihantono memilih untuk pergi meninggalkan Prihantono untuk di asuh Pak Salimin dan isterinya.  Mereka dengan penuh kasih sayang mendidik Prihantono.
Kehidupan Pak Salimim berubah drastis ketika tumor ganas merenggut nyawa isterinya. Hartanya habis untuk biaya pengobatan, meninggalkan Pak Salimin dan Prihantono hidup dalam kepapaan. Mereka mencoba bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota Jakarta.

Di usia pensiun tidak ada yang bisa Pak Salimin kerjakan kecuali dengan berjualan buah-buahan untuk menyambung hidup. Meski demikian, hal tersebut tidak membuatnya mengeluh. 
Namun perjuangan Pak Salimin rupanya belum berakhir. Cobaan demi cobaan bertubi-tubi menimpanya.  Hal tersebut di perparah dengan munculnya penyakit yang di derita Prihantono.
Pak Salimin tak ingin menyerah. Sampai akhirnya, teman seperjuangan Pak Salimin berusaha membujuknya untuk mau  menerima uang sumbangan yang berasal dari perusahaan tambang tersebut.
Pak Salimin menghela napas panjang.
“Astaghfirullah al azim..” ucapnya perlahan. “Walau bagaimana pun tidak akan pernah aku mau menjual negara ku untuk negara lain hanya karena kepentingan pribadiku sendiri.”   Cobanya untuk menghalau kenangan-kenangan sedih dari benaknya.


----- 

Tengah melamun, Pak Salimin dikejutkan dengan kedatangan serombongan anak muda yang tiba-tiba menyerbu pikulan buah Pak Salimin. "Kami borong pepayanya ya Pak." kata mereka. "Kami ingin memberi dukungan pada kawan-kawan yang sedang melakukan aksi unjuk rasa menentang privatisasi perusahaan tambang Pak. Mereka berunjuk rasa seharian di depan istana. Kelaparan. Semoga pepaya ini bisa memberi tambahan energi, agar pemerintah mau mendengar suara kami untuk tidak menjual perusahaan tambang itu ke pihak asing."

Pak Salimin terkesima mendengar ucapan anak-anak muda tersebut. Prinsip anak-anak muda tersebut sama dengan prinsip yang dipegangnya selama ini. Sudah seharusnya hasil bumi ini dinikmati oleh bangsa kita sendiri. Tidak hanya untuk sekelompok orang saja. Apalagi untuk orang asing.

Tanpa ragu, "Ambil saja pepaya ini, berapa pun yang kalian mau. Tidak perlu bayar", kata Pak Salimin. "Jadikan ini sumbangan saya untuk perjuangan kalian." Katanya lagi yang membuat anak-anak muda tersebut memeluknya penuh haru.
Pak Salimin tidak peduli lagi dari mana ia bisa mendapatkan biaya pengobatan Prihantono. Ia pasrah… Tuhan pasti tidak akan diam. Wajah Pak tua Salimin memancarkan senyum. Senyum kemenangan karena sudah mendidik dirinya untuk menjadi pribadi yang memegang teguh prinsip kebenaran. Pribadi yang bersih dan tidak tergiur dengan iming-iming kekayaan melalui korupsi, seperti yang dilakukan banyak teman seperjuangannya dulu, berpesta pora menjual kekayaan negara. Tidak peduli dengan penderitaan rakyat. Sebagai seorang penjual pepaya, Ia bersyukur masih bisa berbagi dan berjuang demi negara yang bersih dari korupsi…

-----


Matahari memerah di ufuk barat. Pak Salimin berjalan perlahan, kelelahan.  Kebahagiaan menyelimutinya. Tiba-tiba dari arah yang tidak terduga sebuah sedan mewah melaju kencang hilang kendali. Pak Salimin mencoba menghindari tapi terlambat sudah.. Ciiiittttt.. braakk.. Pak Salimin merasa gelap menyelimuti dirinya.. Yang terasa hanya gelap dan berat.. Darah berceceran.. Pepaya jualan Pak Salimin jatuh bertaburan bercampur merah darah. Terdengar sayup-sayup suara-suara ramai disekelilingnya. “Ya Allah, cepat.. cepat di bantu.. Kasihan Pak Tua itu. Bagaimana keadaannya? Apakah masih hidup? Apakah masih bernafas? Coba periksa detak jantungnya..” Dengan cepat segerombolan orang-orang ramai mengerubungi Pak Salimin, sebagian ingin membantu, sebagian hanya ingin melihat..  Namun sayang sekali, jiwa Pak Salimin tidak bisa tertolong. Inalilahi wa ina ilaihi rojiun.
Nafas terakhir Pak Salimin terbang membelah angkasa. Menembus dunia keabadian.


-----


Sementara itu di gubug kecil di pinggiran kota Jakarta, cucu Pak Salimin menggigil kesakitan. Dipan kayu keras tempat tubuhnya tergeletak terasa dingin bagaikan es. Suhu badannya semakin tinggi dan penyakitnya semakin parah. Kakek tercinta yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Prihantono berbisik lirih memanggil-manggil Kakeknya, tapi tak ada yang menjawab. Hanya angin yang berdesir lirih. Detak jantung Prihantono semakin melemah dan melemah.

 
-----


Dan pagi itu, hujan membasahi dua kuburan baru di Jakarta. Kuburan seorang veteran dan cucunya...


Wellington, 16 Juli 2012

JUARA II CERPEN 2012

THE BATTLE OF SURABAYA
Oleh Ahmad Fachry Agam.

The war began…

Boots tramped. Mud splattered as the men slowly marched their way across the desolate plains. A melancholy feeling descended as I, and probably all the others fighting this cold war thought about all our family we left at home. The kampong, villages we used to live in back in the lush forests of Surabaya, or I should say the beautiful lands of Indonesia. I could see the other army climb down the rugged hills, once a paradise, now abandoned and destroyed as their expressionless eyes met ours.

Suddenly a huge explosion rocked our world. My eyes were blinded and I slowly stood up, numb. That was a mistake. Gunfire exploded and I quickly threw myself flat to the ground. Bullets whizzed above and I could feel the tremors as mortars blew earth and mud. I felt the ground shake and was swept in front of the men charging. I braced my long, yet seemingly strong bamboo spear in front of me as I slowly descended into a world of mud and war. 

I remembered once, there was a time when we lived in peace. We lived with harmony, obeying the laws of nature and being kind and helpful. And not being greedy. To love and share. But now…

I could see my comrades falling to the ground all around me. Slammed my rifle butt into the head onto an enemy beside me. Suddenly my rifle discharged, exploding and cinders shooting out. I quickly threw it away to the ground beside me. Smoke billowed and I suddenly saw all their guns aimed at me as they looked where the smokescreen had come from. I quickly ducked down as I saw bullets spray the ground around me. Pew Pew Pew! And then the noise was lot to the war. Swords locked, rain started to fall in big splashes, and soon we were sinking into mud. I could hear more guns firing as the scene dissolved into chaos.  I jumped back as a bullet seemingly sprouted into the ground beside me. I could see mud, blood and dust, like a dark storm, fly into my face and mud in my eyes as I shouted my war cry and stabbed my spear forward. A young man sliced his bayonet and I quickly discovered their way of fighting was very different. Grabbing my spear with two hands, I slammed it at the man’s gun. His bayonet locked against my spear, both straining to overcome the other. 

Suddenly we were lost by a rush of men running to, the reinforcements. But there was no cheer. The war was just prolonged. And then we charged again. Mortars struck, mines exploded and I could see men flying through the air. A metallic taste filled my mouth as we struck down man after man. Soon we were lost in the pattern: Stab, duck, stab, parry. The sky was blood red, and the ground same. Soon we were staggering across no man’s land. I drew my sabre as a man swung his broad sword at me. I quickly knocked him out with the flat of my blade, then ducked as a sword sang threw the air above me. A man with a long, long mustache swung his sword, and we locked hilt. Suddenly he twisted in one of those strange sword moves, and disarmed me. I kicked him in the stomach. Ouch. Then explosions shook the ground and all I could see was mud everywhere. Wet and muddy, we struggled through the mud, our hands slippery and our morale low.

When was this war going to end?

Grabbing my spear, I stabbed at the young man in front of me. The Dutch soldier drew back, and with one swift swipe of his sword he lopped of the head of my spear. Splinters from the stick spiked into my hands and I could feel the raw sting. But instead of standing there in shock, I smashed the bamboo stick at him, causing his hand to spasm and his sword to fall. Grabbing the sabre, I slammed the hilt into his stomach then kicked, the thin man falling back then finally slipping into the sticky mud. I prepared to end the man’s life. But then I realized that it’s also my war, so I have a choice. My sword wavered in the air as I pondered on my decision. I drew back sword and tossed it away. Holding out my hand, I help the man up. Shocked, but relived to be alive, the man stared for a seconded and then jumped back into the melee. I looked at the battle, and knew that this was a war, worlds away from me. I have to stop this war. To save the people.

Suddenly the earth shook. The few trees left in shivered. A tank drew up, its massive size out scaling all the men.
But deep inside I knew what to do.
“Stop!” I commanded, running up to the tank. “We have to stop this war!”
I looked up to the great tank. The army froze its fight. And then suddenly a blinding flash seared my senses. I could see darkness drawing and I let go.

But now, in most places thanks to the acts of many people, should I say Heroes, the world is safe and we can roam with freedom and happiness. So far the war maybe over,  but the battle is still going in Indonesia for the best and free education. So we should help those who aren’t so lucky.