Logo

Logo
ppi wellington logo

ANSWERS to Crossword Puzzle - Spirit of Independence of Indonesia

Saturday, August 18, 2012

Teka-Teki Silang untuk Menyambut Kemerdekaan Indonesia telah DITUTUP. Terima kasih kepada Bapak-bapak, ibu-ibu, dan teman-teman yang telah ikut berpartisipasi di kuis ini.

Berikut adalah jawaban dari kuis teka-teki silang:

ACROSS:
1,J: PROKLAMASI

3,A: REPUBLIK

5,M: GARUDA

6,C: PANCASILA

8,A: SOEDIRMAN

12,K: SUPRATMAN

14,A: LINGGARJATI

DOWN:
A,3: RENGASDENGKLOK

D,5: MAEDA

K,8: AGUSTUS

N,10: MERAUKE

R,1: SUMPAH PEMUDA

Pemenang undian berhadiah adalah: Timothy Radhitya Djagiri

Selamat dan terima kasih atas partisipasi-nya

Salam Pelajar,

Ppi Wellington

CERPEN 2012

Selamat kepada para pemenang lomba Cerita Pendek 2012, yaitu:

  • Juara I: Ibu Silviana Dewi Warli
  • Juara II: Ahmad Fachry Agam
  • Juara III: Ibu Astuti Azis
Cerpen para juara telah kami publikasikan di website ini dengan heading "JUARA I CERPEN 2012", "JUARA II CERPEN 2012" DAN "JUARA III CERPEN 2012".

Kami ingin berterima kasih kepada para juri atas bantuan dan arahan yang telah diberikan:
  • Bapak Duta Besar A Agus Sriyono (mewakili KBRI)
  • Ibu Wimmy (mewakili KAMASI)
  • Ibu Dwi Suwarningsih (mewakili PPI Wellington)
Terima kasih juga kami sampaikan kepada Things Unseen atas sponsor yang diberikan untuk hadiah pemenang Juara I.


Sekali lagi... selamat kepada para pemenang dan kami harap ditahun kedepan akan lebih banyak lagi yang ikut berpartisipasi di kompetisi ini.

Salam Pelajar,

PPI Wellington

JUARA I CERPEN 2012


KISAH SEORANG VETERAN
Oleh Silviana D W

Di siang yang terik itu, Pak Salimin berjalan terseok-seok di sudut jalan kota Jakarta yang berdebu sambil sesekali berteriak lirih, “Buah.. Siapa mau beli, buah.. Buah pepaya manis...” Beratnya pikulan dan teriknya matahari yang menaungi bumi Jakarta siang itu tak terasakan olehnya. Peluh yang bercucuran di kening di sekanya dengan lengan baju kotornya dengan lemah.  Sesekali air mata menetes di pipi keriput tuanya. Pandangannya memudar. Masih terngiang di benak Pak Salimin percakapannya dengan Dokter Puskesmas kemarin siang.

“Cucu Bapak kena demam berdarah. Penyakit Prihantono lumayan cukup parah. Prihantono harus segera di bawa ke rumah sakit sebelum terlambat.”

Tapi sayangnya, surat saktinya sebagai veteran di negara tercinta ini tidak berlaku di rumah sakit tersebut.

Petugas administrasi rumah sakit tersebut berkata dengan lemah lembut namun tegas kalau Pak Salimin harus membayar uang muka terlebih dahulu sebelum berobat.

Pak Salimin melenguh. Pikulannya semakin terasa berat di pundak kurusnya. Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu sedangkan untuk makan hari ini saja ia tidak punya.

Pernah terlintas di benak tuanya andaikata pada saat berjuang dulu ia mau ikut bujukan teman seperjuangannya untuk ikut bekerjasama dengan pihak negara asing, pasti keadaannya tidak akan seperti sekarang ini.


-----

Salimin muda baru saja menyelesaikan pendidikan perguruannya di kota Bandung sesaat setelah Jepang menduduki Indonesia. Pada saat itu ia ikut berjuang melawan penjajahan Jepang di kota Bandung. Setelah Jepang di halau dari bumi Indonesia tercinta, salah seorang sahabat Pak Salimin membujuknya untuk ikut bekerja di perusahaan tambang yang tak lain adalah sebuah perusahaan asing yang secara terselubung menjual kekayaan tambang Indonesia ke negara asing. Salimin muda yang tidak mengetahui adanya kecurangan itu sempat bekerja beberapa tahun di perusahaan tersebut. Hal yang tidak sesuai dengan hati nuraninya membuat Salimin muda memilih meninggalkan kota Bandung dan menjadi guru yang jujur di sebuah sekolah kecil di pinggiran kota Jakarta.

Awalnya kehidupan Pak Salimin tidaklah berkekurangan. Tetapi semua mulai berubah ketika putri semata wayangnya wafat saat melahirkan Prihantono. Karena tidak tahan menanggung sedih, Ayah Prihantono memilih untuk pergi meninggalkan Prihantono untuk di asuh Pak Salimin dan isterinya.  Mereka dengan penuh kasih sayang mendidik Prihantono.
Kehidupan Pak Salimim berubah drastis ketika tumor ganas merenggut nyawa isterinya. Hartanya habis untuk biaya pengobatan, meninggalkan Pak Salimin dan Prihantono hidup dalam kepapaan. Mereka mencoba bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota Jakarta.

Di usia pensiun tidak ada yang bisa Pak Salimin kerjakan kecuali dengan berjualan buah-buahan untuk menyambung hidup. Meski demikian, hal tersebut tidak membuatnya mengeluh. 
Namun perjuangan Pak Salimin rupanya belum berakhir. Cobaan demi cobaan bertubi-tubi menimpanya.  Hal tersebut di perparah dengan munculnya penyakit yang di derita Prihantono.
Pak Salimin tak ingin menyerah. Sampai akhirnya, teman seperjuangan Pak Salimin berusaha membujuknya untuk mau  menerima uang sumbangan yang berasal dari perusahaan tambang tersebut.
Pak Salimin menghela napas panjang.
“Astaghfirullah al azim..” ucapnya perlahan. “Walau bagaimana pun tidak akan pernah aku mau menjual negara ku untuk negara lain hanya karena kepentingan pribadiku sendiri.”   Cobanya untuk menghalau kenangan-kenangan sedih dari benaknya.


----- 

Tengah melamun, Pak Salimin dikejutkan dengan kedatangan serombongan anak muda yang tiba-tiba menyerbu pikulan buah Pak Salimin. "Kami borong pepayanya ya Pak." kata mereka. "Kami ingin memberi dukungan pada kawan-kawan yang sedang melakukan aksi unjuk rasa menentang privatisasi perusahaan tambang Pak. Mereka berunjuk rasa seharian di depan istana. Kelaparan. Semoga pepaya ini bisa memberi tambahan energi, agar pemerintah mau mendengar suara kami untuk tidak menjual perusahaan tambang itu ke pihak asing."

Pak Salimin terkesima mendengar ucapan anak-anak muda tersebut. Prinsip anak-anak muda tersebut sama dengan prinsip yang dipegangnya selama ini. Sudah seharusnya hasil bumi ini dinikmati oleh bangsa kita sendiri. Tidak hanya untuk sekelompok orang saja. Apalagi untuk orang asing.

Tanpa ragu, "Ambil saja pepaya ini, berapa pun yang kalian mau. Tidak perlu bayar", kata Pak Salimin. "Jadikan ini sumbangan saya untuk perjuangan kalian." Katanya lagi yang membuat anak-anak muda tersebut memeluknya penuh haru.
Pak Salimin tidak peduli lagi dari mana ia bisa mendapatkan biaya pengobatan Prihantono. Ia pasrah… Tuhan pasti tidak akan diam. Wajah Pak tua Salimin memancarkan senyum. Senyum kemenangan karena sudah mendidik dirinya untuk menjadi pribadi yang memegang teguh prinsip kebenaran. Pribadi yang bersih dan tidak tergiur dengan iming-iming kekayaan melalui korupsi, seperti yang dilakukan banyak teman seperjuangannya dulu, berpesta pora menjual kekayaan negara. Tidak peduli dengan penderitaan rakyat. Sebagai seorang penjual pepaya, Ia bersyukur masih bisa berbagi dan berjuang demi negara yang bersih dari korupsi…

-----


Matahari memerah di ufuk barat. Pak Salimin berjalan perlahan, kelelahan.  Kebahagiaan menyelimutinya. Tiba-tiba dari arah yang tidak terduga sebuah sedan mewah melaju kencang hilang kendali. Pak Salimin mencoba menghindari tapi terlambat sudah.. Ciiiittttt.. braakk.. Pak Salimin merasa gelap menyelimuti dirinya.. Yang terasa hanya gelap dan berat.. Darah berceceran.. Pepaya jualan Pak Salimin jatuh bertaburan bercampur merah darah. Terdengar sayup-sayup suara-suara ramai disekelilingnya. “Ya Allah, cepat.. cepat di bantu.. Kasihan Pak Tua itu. Bagaimana keadaannya? Apakah masih hidup? Apakah masih bernafas? Coba periksa detak jantungnya..” Dengan cepat segerombolan orang-orang ramai mengerubungi Pak Salimin, sebagian ingin membantu, sebagian hanya ingin melihat..  Namun sayang sekali, jiwa Pak Salimin tidak bisa tertolong. Inalilahi wa ina ilaihi rojiun.
Nafas terakhir Pak Salimin terbang membelah angkasa. Menembus dunia keabadian.


-----


Sementara itu di gubug kecil di pinggiran kota Jakarta, cucu Pak Salimin menggigil kesakitan. Dipan kayu keras tempat tubuhnya tergeletak terasa dingin bagaikan es. Suhu badannya semakin tinggi dan penyakitnya semakin parah. Kakek tercinta yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Prihantono berbisik lirih memanggil-manggil Kakeknya, tapi tak ada yang menjawab. Hanya angin yang berdesir lirih. Detak jantung Prihantono semakin melemah dan melemah.

 
-----


Dan pagi itu, hujan membasahi dua kuburan baru di Jakarta. Kuburan seorang veteran dan cucunya...


Wellington, 16 Juli 2012

JUARA II CERPEN 2012

THE BATTLE OF SURABAYA
Oleh Ahmad Fachry Agam.

The war began…

Boots tramped. Mud splattered as the men slowly marched their way across the desolate plains. A melancholy feeling descended as I, and probably all the others fighting this cold war thought about all our family we left at home. The kampong, villages we used to live in back in the lush forests of Surabaya, or I should say the beautiful lands of Indonesia. I could see the other army climb down the rugged hills, once a paradise, now abandoned and destroyed as their expressionless eyes met ours.

Suddenly a huge explosion rocked our world. My eyes were blinded and I slowly stood up, numb. That was a mistake. Gunfire exploded and I quickly threw myself flat to the ground. Bullets whizzed above and I could feel the tremors as mortars blew earth and mud. I felt the ground shake and was swept in front of the men charging. I braced my long, yet seemingly strong bamboo spear in front of me as I slowly descended into a world of mud and war. 

I remembered once, there was a time when we lived in peace. We lived with harmony, obeying the laws of nature and being kind and helpful. And not being greedy. To love and share. But now…

I could see my comrades falling to the ground all around me. Slammed my rifle butt into the head onto an enemy beside me. Suddenly my rifle discharged, exploding and cinders shooting out. I quickly threw it away to the ground beside me. Smoke billowed and I suddenly saw all their guns aimed at me as they looked where the smokescreen had come from. I quickly ducked down as I saw bullets spray the ground around me. Pew Pew Pew! And then the noise was lot to the war. Swords locked, rain started to fall in big splashes, and soon we were sinking into mud. I could hear more guns firing as the scene dissolved into chaos.  I jumped back as a bullet seemingly sprouted into the ground beside me. I could see mud, blood and dust, like a dark storm, fly into my face and mud in my eyes as I shouted my war cry and stabbed my spear forward. A young man sliced his bayonet and I quickly discovered their way of fighting was very different. Grabbing my spear with two hands, I slammed it at the man’s gun. His bayonet locked against my spear, both straining to overcome the other. 

Suddenly we were lost by a rush of men running to, the reinforcements. But there was no cheer. The war was just prolonged. And then we charged again. Mortars struck, mines exploded and I could see men flying through the air. A metallic taste filled my mouth as we struck down man after man. Soon we were lost in the pattern: Stab, duck, stab, parry. The sky was blood red, and the ground same. Soon we were staggering across no man’s land. I drew my sabre as a man swung his broad sword at me. I quickly knocked him out with the flat of my blade, then ducked as a sword sang threw the air above me. A man with a long, long mustache swung his sword, and we locked hilt. Suddenly he twisted in one of those strange sword moves, and disarmed me. I kicked him in the stomach. Ouch. Then explosions shook the ground and all I could see was mud everywhere. Wet and muddy, we struggled through the mud, our hands slippery and our morale low.

When was this war going to end?

Grabbing my spear, I stabbed at the young man in front of me. The Dutch soldier drew back, and with one swift swipe of his sword he lopped of the head of my spear. Splinters from the stick spiked into my hands and I could feel the raw sting. But instead of standing there in shock, I smashed the bamboo stick at him, causing his hand to spasm and his sword to fall. Grabbing the sabre, I slammed the hilt into his stomach then kicked, the thin man falling back then finally slipping into the sticky mud. I prepared to end the man’s life. But then I realized that it’s also my war, so I have a choice. My sword wavered in the air as I pondered on my decision. I drew back sword and tossed it away. Holding out my hand, I help the man up. Shocked, but relived to be alive, the man stared for a seconded and then jumped back into the melee. I looked at the battle, and knew that this was a war, worlds away from me. I have to stop this war. To save the people.

Suddenly the earth shook. The few trees left in shivered. A tank drew up, its massive size out scaling all the men.
But deep inside I knew what to do.
“Stop!” I commanded, running up to the tank. “We have to stop this war!”
I looked up to the great tank. The army froze its fight. And then suddenly a blinding flash seared my senses. I could see darkness drawing and I let go.

But now, in most places thanks to the acts of many people, should I say Heroes, the world is safe and we can roam with freedom and happiness. So far the war maybe over,  but the battle is still going in Indonesia for the best and free education. So we should help those who aren’t so lucky.

JUARA III CERPEN 2012


HARDIKNAS
Oleh Ibu Astuti Azis

Januari 2012
Pukul 1.30 Siang,

Terik sempurna….sudah 15 menit kududuk didepan kompleks perumahan yang terletak pas di jalan provinsi ini menunggu seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Yah…dia adalah salah seorang partisipan yang akan kuwawancarai dalam rangkaian penelitianku. Ini merupakan pertemuan keduaku dengannya tanpa kusadari siapa sesungguhnya pahlawan ini. Kuputuskan untuk memilih dia karna responnya terhadap kuisioner yang kuberikan padanya bulan lalu begitu unik, begitu meyakinkan, menunjukkan konsepsi yang sangat kuat: mengajar dan melakukan penilaian untuk meningkatkan pembelajaran. Untung saja dia melengkapi kesulurah kuisioner itu termasuk imbauanku untuk membubuhkan nomor kontak jika bersedia diwawancarai.

Sepuluh menit berlalu…ditempat yang sama, kusibuk memperhatikan manusia lalu lalang, maklumlah kota kecil ini belakangan diserbu beraneka mini market, mulai dari Indo maret, Alfa midi, Alfa express, Makro indotim dan banyak lagi. Konon katanya mereka hanya memerlukan tempat lalu isinya akan dipenuhi oleh pihak pertokoan lantas bagi hasil dengan pemilik tempat.

 Lagu ‘Insyaaalah” milik Maher Zain mengalun dari HPku, nomor tak kukenal, siapa yah?

“Assalamu Alaikum ibu, maaf, saya Asmah Kartini, mau mengabarkan ini baru saya keluar dari rumah bu, soalnya barusan tamu suami saya pulang…” suara itu terdengar ramah sekaligus terkesan bersalah…

Kembali aku menunggu, entah untuk berapa lama…..

Lima belas menit kemudian, sebuah motor Honda tiger yang ditumpangi dua orang berperawakan bongsor tepat berhenti dihadapanku.

“ Maaf bu…membuat ibu lama menunggu” kata wanita itu setelah membuka helm tutupnya.

Oh…jadi ini orangnya…kureka usianya sekitar awal 30-an, badannya memang besar tapi kulit segar sedikit berminyak plus senyum yang selalu terkulum dibibirnya menandakan ia berjiwa muda dan hangat. Kutawarkkan ia untuk memarkir motor dan menggunakan kendaraan kami menuju Donald Mee tempat yang ia pilih untuk makan siang. Well ini bagian dari treatment yang kuberikan pada responden penelitianku…apalagi untuk sosok yang tak kukenal seperti bu Kartini ini.

Kami mengawali percakapan dengan santap siang yang lezat, kucoba membangun chemistry diantara kami, kutanya soal pengalaman mengajarnya, dengan ramah ia membuka kisah……

“Saya masih baru bu…baru 4 tahun mengajar tapi baru saya yang PNS di sekolah saya, makanya kepala sekolah juga menunjuk saya jadi wakilnya” katanya tersenyum bangga.

Ya, di tempat kami ini, menjadi PNS adalah sebuah jaminan masa depan…gaji teratur, kesehatan terjamin, dana pensiun tersedia dan boleh memarkir SK di Bank jika ada keperluan heheh ….

Wawancara kami berlangsung begitu santai…dia menjawab lugas semua pertanyaanku, daya tangkapnya bagus, jawabannya selalu disertai binar mata antusias, dia terkesan perhatian, sangat sesuai dengan respon yang diberikannya terhadap kuisionerku…

Tapi saya lebih tertarik pada cerita tentang perjuangannya menjadi pendidik…

“Sekolah saya bu adanya di pesisir, saat ini dalam satu sekolah kami hanya memiliki 36 orang siswa”

“Iya bu, sungguh..” katanya menanggapi reaksi kagetku.

“Bahkan dulu waktu sekolah itu baru berdiri, saya mesti keliling kampung mencari siswa bu….saya mesti meyakinkan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya, juga memastikan kalau sekolah itu gratis”.

Di daerah ini, sejak 4 tahun lalu bupati setempat telah menetapkan pendidikan SD-SMA gratis dalam upaya meraup suara, bahkan siswa miskin boleh tak memakai seragam kesekolah jika memang ia tidak mampu membelinya. Sungguh sebuah program yang sangat memihak wong cilik. Well untuk konteks masayarakat di tempat bu Kartini ini kebijakan serupa rasanya pas saja tapi di beberapa sekolah semisal SMK rasanya sangat tercederai. Salah satu SMK dekat rumah saya bahkan aliran listriknya dicabut setiap 6 bulan karena urusan dana telat hingga 4-5 bulan ementara sekolah tidak diperkenankan memungut dana sepeserpun dari siswa.

Dia bercerita dengan penuh semangat, sesekali menyeka keringat, juga tertawa lepas. Katanya sumber penghasilan utama masyarakat disekitar sekolahnya adalah menganyam tikar daun pandan atau menjual ‘bironcong’[1]. Jika anak sudah tamat SD, bisa membaca, menulis dan mampu menganyam atau menjual bironcong maka itulah hidupnya…tak perlu lanjut SMP apalagi SMA. Katanya kasadaran orang tua dibidang pendidikan disana sangat memprihatinkan…untunglah, keberadaannya sebagai guru masih sangat dihormati. Dari ceritanya saya bisa menyimpulkan bahwa imbuan bu Kartini ini masih didengar dan dipatuhi warga. Mungkin juga karna dia adalah putri mantan kepala desa yang menjabat 2 periode.

“Sekarang sekolah kami lebih bagus bu, karna akhirnya dijadikan SATAP (Sekolah Satu Atap) sehingga siswa SD diupayakan bisa langsung masuk SMP, itupun saat ini masih 36 orang, yang jelas jumlah ini jauh lebih banyak dari tahun lalu” katanya tersenyum penuh arti.

“ Saya sangat menikmati mengajar disni bu..kebetulan ini kampung saya. Ibu tahu tidak...saya merasa sangat berarti disini…mereka membutuhkan saya. Kalau waktu istirahat tiba, saya sering diserbu siswa mereka minta diberi jajan, ditraktir es lilin atau snak lainnya. Bayangkan bu…buat jajan saja mereka gak mampu apalagi kalau mereka diminta beli buku atau kamus…aduh jauh itu”.

“Belum lagi kendala bahasa, kalau saya ngajar bu, saya pakai tiga bahasa, mereka ini kan bahasa Indonesianya belum lancar, jadi kalau saya beri kosa kata baru dalam bahasa Inggris saya mesti terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia plus bahasa Makassar” lanjutnya antusias.

Hmmm…wawancara kami sungguh menarik, tak sabar rasanya ingin ku transkrip dan kuberikan padanya untuk dicek. Untuk rencana ini aku memilih untuk mengunjunginya…..

Sesuai petunjuk yang diberikan di telfon, ditemani suami, saya mengunjungi ibu Kartini yang sederhana nan perkasa itu…lega rasanya berkendara di sepanjang hijaunya persawahan tanpa kami sadari jika telah tersesat jauh. Alhamdulillah setelah bertanya beberapa kali sambil menjual nama ayah bu Kartini yang mantan Kades itu kami tiba di tempatnya dengan selamat.

Senyum ramah mantan Kades menyambut kami, seluruh isi rumah bahkan keluar dan menyalami kami….plus dengan senyum lebar masing-masing…ah..sambutan luar biasa. Suasana disini terasa agak kering dan panas, beda sekali dengan areal persawahan yang kami lewati tadi. Dari kejauhan kudengar deru ombak.

“ Di ujung jalan ini sudah laut bu” kata bu Kartini melihatku memegang telinga….

Siang itu, kami dijamu makan siang istimewa… lauknya sederhana tapi terasa begitu nikmat mungkin karena disajikan dengan ihlas apalagi ikan segar itu baru saja diambil dari perahu  tetangga  yang baru saja pulang melaut. Kami menyebutnya juku eja (pink fish) dan ikan kembung, di bakar tanpa bumbu tersaji di atas meja…disebelahnya terdapat piring kecil berisi garam kasar, sedikit air dan Lombok biji (cabe merah). Hmm….betapa nikmat rasanya…apalagi ditambah sayur daun kelor plus kacang ijo dimasak seadanya, juga mengepul...Alhamdulillah.

Setalah membaca hasil transkrip wawancara, Bu Kartini mengajakku berkunjung ke sekolah yang berjarak beberapa meter saja dari rumahnya. Sepanjang jalan silih berganti masyarakat sedikit membungkuk, tersenyum dan menyapa beliau dengan hormat “Bu guru…” begitu sapa khas mereka. Beberapa orang siswa yang berpapasan, menyempatkan diri untuk singgah mencium tangan sang guru bahkan mereka yang sedang membantu orang tua menganyam tikarpun berlari menghambur menyapa sang guru sebelum melanjutkan aktifitas, beberapa diantara mereka bahkan mengikuti kami sehingga kunjungan ini terlihat seperti iring-iringan resmi.

Dalam hati saya iri…”siswa saya gak sampai segitunya”, batinku...mungkin karna sekolah saya letaknya di kota, hatiku berdalih…

Ucapan ‘Selamat Datang di SATAP SalakKo’. Terpampang gagah di gerbang sekolah

“Inilah sekolah kami bu” kata Bu kartini bangga, kulihat senyum merekah di bibir siswa yang mengiringi kami.
Saya sedikit terkejut, bangunan sekolah ini terbilang sangat bagus…apalagi untuk ukuran desa seperti Salakko ini

“Sekolah ini dibangun oleh pihak AusAid bu’ makanya kelihatannya begini, bahkan didalam lumayan canggih, dulu WC siswa dan guru diberikan WC duduk dilengkapi dengan westafel juga cermin…tapi hanya butuh beberapa bulan lalu kloset-kloset itu rusak, itu karna masyarakat disini tidak biasa buang air dengan duduk”. Papar bu Kartini lagi, siswanya terlihat sedikit malu, mungkin merasa disindir…

Hmmm ini sangat kupahami…cerita serupa seringkali kudengar dari teman yang mengajar di pelosok dengan sekolah bantuan AusAid, itu karna mereka kurang lebih mengikuti standard penyandang dana padahal masyarakat setempat belum siap untuk hal serupa.

Bu Kartini terus berkisah….”Disini bu, kalau kelas satu biasanya jumlah siswa bisa sampai 15 hingga 17 orang,  tapi kalau masuk musim panen akan berkurang karna beberapa siswa memilih menjadi buruh musiman[2] untuk membantu keluarganya, naik ke kelas 2 jumlah siswa akan semakin berkurang begitu seterusnya, pokoknya kami disini menempuh segala cara untuk membuat siswa betah”.

Dia juga melanjutkan cerita bahwa tahun lalu adalah kali pertama sekolah itu mengikuti Ujian Akhir Nasional. Seyogyanya ada 6 orang siswa yang ikut tes tapi seorang siswa lebih memilih menjual bironcong daripada mengejar ijasah SMP. Akhirnya katanya hanya 5 siswa yang diikutkan.

“ Itu lagi bu, masa sehari menjelang ujian, satu orang siswa kawin lari!”

“Masyaallahh! Bu”

“Janganmaki bu”, katanya menimpali keterkejutanku dengan logat Makassar yang begitu kental, “Tiga rumah imam kudatangi baru kudapat itu anak”.

Di Makassar, orang yang kawin lari akan menetap di rumah seorang Imam desa yang berfungsi sebagai the guardian kedua sejoli sebelum mereka kembali ke keluarga.

“Bayangkan Bu…subuh-subuh saya jemput itu anak di rumah pak imam lalu dikawal pak imam dan seorang polisi kami menuju sekolah untuk ujian, tiga hari bu, tiga hari setiap subuh saya jemput, alhamdulilah anak itu lulus ujian!”

You know what! Ini pekerjaan yang penuh resiko lho! Mungkin anda pernah mendengar istilah Sirik na Pacce yang jadi pegangan orang Makassar. Prinsip ini mengajarkan tentang kehormatan dan kepedulian. Pelaku kawin lari adalah pelanggar adat, dia telah menghilangkan Sirinya (kehormatanya) dan membuat malu keluarganya sehingga dia tak layak dipaccei (tak perlu dipedulikan lagi). Dalam hukum adat di tempat kami, jika seorang pelaku kawin lari ditemukan oleh tumasirik atau keluarganya, maka dia bisa langsung ‘dihabisi’ di tempat itu! Untuk itulah makanya Bu Kartini bahkan melibatkan polisi untuk menjaga keamanan si anak tadi…subhanallah…

Bulu kuduk saya berdiri mendengar uraiannya ini, saat itu yang ada di fikiran saya adalah beliau ini pantas diundang Andy F Noya sebagai tamu untuk talkshow Kick Andy yang terkenal itu. Ah sudahlah at least saya bisa membaginya pada anda di Wellington ini….yah pejuang pendidikan nan sederhana, perkasa dan berani itu itu bernama Kartini….





[1] Bironcong adalah kue tradisional Makassar, terbuat dari tepung beras dan kelapa parut yang dipanggang, mirip kue pukis.
[2] Buruh musiman untuk panen padi, biasanya mereka berangkat satu truk menuju daerah yang waktu panennya telah tiba, bisa memakan waktu 2-3 minggu hingga panen kelar.

CROSSWORD PUZZLE - SPIRIT OF INDEPENDENCE OF INDONESIA

Thursday, August 9, 2012


TEKA-TEKI SILANG untuk memperingati HUT KEMERDEKAAN RI

Silahkan klik link di bawah untuk diarahkan ke kuis ini

http://vuw.qualtrics.com/SE/?SID=SV_41qWCWExKzOPKh7

Yang berhasil mengisi teka-teki silang ini sampai selesai bisa masuk ke undian berhadiah.

Kuis ini akan di tutup pada HUT KEMERDEKAAN RI (17 Augustus 2012) pukul 10.00 (waktu yang sama saat Bung Karno didampingi Bung Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia 67 tahun yang lalu)


Selamat mencoba dan MERDEKA!


Ppi Wellington

Saman Dance Workshop

You've see it danced... now you get the chance to learn it!

Next Wednesday, 15 August 2012, 1-2pm at Kelburn Rec Center

See you all there!


Upacara untuk Merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-67

Tuesday, August 7, 2012


Dear teman-teman,

Meneruskan informasi dari KBRI:

Dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-67 di Selandia Baru, kami mengundang Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk menghadiri Upacara Bendera yang akan dilaksanakan pada:

Hari/tanggal : Jumat, 17 Agustus 2012
Pukul : 10.00-selesai
Tempat : KBRI Wellington
70 Glen Road, Kelburn
Pakaian : Bebas rapi

Peserta upacara diharapkan hadir 30 menit sebelum upacara dimulai.

Demikian, atas kehadiran diucapkan terima kasih.

Fungsi Penerangan Sosial Budaya
KBRI Wellington