Logo

Logo
ppi wellington logo

JUARA III CERPEN 2012

Saturday, August 18, 2012


HARDIKNAS
Oleh Ibu Astuti Azis

Januari 2012
Pukul 1.30 Siang,

Terik sempurna….sudah 15 menit kududuk didepan kompleks perumahan yang terletak pas di jalan provinsi ini menunggu seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Yah…dia adalah salah seorang partisipan yang akan kuwawancarai dalam rangkaian penelitianku. Ini merupakan pertemuan keduaku dengannya tanpa kusadari siapa sesungguhnya pahlawan ini. Kuputuskan untuk memilih dia karna responnya terhadap kuisioner yang kuberikan padanya bulan lalu begitu unik, begitu meyakinkan, menunjukkan konsepsi yang sangat kuat: mengajar dan melakukan penilaian untuk meningkatkan pembelajaran. Untung saja dia melengkapi kesulurah kuisioner itu termasuk imbauanku untuk membubuhkan nomor kontak jika bersedia diwawancarai.

Sepuluh menit berlalu…ditempat yang sama, kusibuk memperhatikan manusia lalu lalang, maklumlah kota kecil ini belakangan diserbu beraneka mini market, mulai dari Indo maret, Alfa midi, Alfa express, Makro indotim dan banyak lagi. Konon katanya mereka hanya memerlukan tempat lalu isinya akan dipenuhi oleh pihak pertokoan lantas bagi hasil dengan pemilik tempat.

 Lagu ‘Insyaaalah” milik Maher Zain mengalun dari HPku, nomor tak kukenal, siapa yah?

“Assalamu Alaikum ibu, maaf, saya Asmah Kartini, mau mengabarkan ini baru saya keluar dari rumah bu, soalnya barusan tamu suami saya pulang…” suara itu terdengar ramah sekaligus terkesan bersalah…

Kembali aku menunggu, entah untuk berapa lama…..

Lima belas menit kemudian, sebuah motor Honda tiger yang ditumpangi dua orang berperawakan bongsor tepat berhenti dihadapanku.

“ Maaf bu…membuat ibu lama menunggu” kata wanita itu setelah membuka helm tutupnya.

Oh…jadi ini orangnya…kureka usianya sekitar awal 30-an, badannya memang besar tapi kulit segar sedikit berminyak plus senyum yang selalu terkulum dibibirnya menandakan ia berjiwa muda dan hangat. Kutawarkkan ia untuk memarkir motor dan menggunakan kendaraan kami menuju Donald Mee tempat yang ia pilih untuk makan siang. Well ini bagian dari treatment yang kuberikan pada responden penelitianku…apalagi untuk sosok yang tak kukenal seperti bu Kartini ini.

Kami mengawali percakapan dengan santap siang yang lezat, kucoba membangun chemistry diantara kami, kutanya soal pengalaman mengajarnya, dengan ramah ia membuka kisah……

“Saya masih baru bu…baru 4 tahun mengajar tapi baru saya yang PNS di sekolah saya, makanya kepala sekolah juga menunjuk saya jadi wakilnya” katanya tersenyum bangga.

Ya, di tempat kami ini, menjadi PNS adalah sebuah jaminan masa depan…gaji teratur, kesehatan terjamin, dana pensiun tersedia dan boleh memarkir SK di Bank jika ada keperluan heheh ….

Wawancara kami berlangsung begitu santai…dia menjawab lugas semua pertanyaanku, daya tangkapnya bagus, jawabannya selalu disertai binar mata antusias, dia terkesan perhatian, sangat sesuai dengan respon yang diberikannya terhadap kuisionerku…

Tapi saya lebih tertarik pada cerita tentang perjuangannya menjadi pendidik…

“Sekolah saya bu adanya di pesisir, saat ini dalam satu sekolah kami hanya memiliki 36 orang siswa”

“Iya bu, sungguh..” katanya menanggapi reaksi kagetku.

“Bahkan dulu waktu sekolah itu baru berdiri, saya mesti keliling kampung mencari siswa bu….saya mesti meyakinkan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya, juga memastikan kalau sekolah itu gratis”.

Di daerah ini, sejak 4 tahun lalu bupati setempat telah menetapkan pendidikan SD-SMA gratis dalam upaya meraup suara, bahkan siswa miskin boleh tak memakai seragam kesekolah jika memang ia tidak mampu membelinya. Sungguh sebuah program yang sangat memihak wong cilik. Well untuk konteks masayarakat di tempat bu Kartini ini kebijakan serupa rasanya pas saja tapi di beberapa sekolah semisal SMK rasanya sangat tercederai. Salah satu SMK dekat rumah saya bahkan aliran listriknya dicabut setiap 6 bulan karena urusan dana telat hingga 4-5 bulan ementara sekolah tidak diperkenankan memungut dana sepeserpun dari siswa.

Dia bercerita dengan penuh semangat, sesekali menyeka keringat, juga tertawa lepas. Katanya sumber penghasilan utama masyarakat disekitar sekolahnya adalah menganyam tikar daun pandan atau menjual ‘bironcong’[1]. Jika anak sudah tamat SD, bisa membaca, menulis dan mampu menganyam atau menjual bironcong maka itulah hidupnya…tak perlu lanjut SMP apalagi SMA. Katanya kasadaran orang tua dibidang pendidikan disana sangat memprihatinkan…untunglah, keberadaannya sebagai guru masih sangat dihormati. Dari ceritanya saya bisa menyimpulkan bahwa imbuan bu Kartini ini masih didengar dan dipatuhi warga. Mungkin juga karna dia adalah putri mantan kepala desa yang menjabat 2 periode.

“Sekarang sekolah kami lebih bagus bu, karna akhirnya dijadikan SATAP (Sekolah Satu Atap) sehingga siswa SD diupayakan bisa langsung masuk SMP, itupun saat ini masih 36 orang, yang jelas jumlah ini jauh lebih banyak dari tahun lalu” katanya tersenyum penuh arti.

“ Saya sangat menikmati mengajar disni bu..kebetulan ini kampung saya. Ibu tahu tidak...saya merasa sangat berarti disini…mereka membutuhkan saya. Kalau waktu istirahat tiba, saya sering diserbu siswa mereka minta diberi jajan, ditraktir es lilin atau snak lainnya. Bayangkan bu…buat jajan saja mereka gak mampu apalagi kalau mereka diminta beli buku atau kamus…aduh jauh itu”.

“Belum lagi kendala bahasa, kalau saya ngajar bu, saya pakai tiga bahasa, mereka ini kan bahasa Indonesianya belum lancar, jadi kalau saya beri kosa kata baru dalam bahasa Inggris saya mesti terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia plus bahasa Makassar” lanjutnya antusias.

Hmmm…wawancara kami sungguh menarik, tak sabar rasanya ingin ku transkrip dan kuberikan padanya untuk dicek. Untuk rencana ini aku memilih untuk mengunjunginya…..

Sesuai petunjuk yang diberikan di telfon, ditemani suami, saya mengunjungi ibu Kartini yang sederhana nan perkasa itu…lega rasanya berkendara di sepanjang hijaunya persawahan tanpa kami sadari jika telah tersesat jauh. Alhamdulillah setelah bertanya beberapa kali sambil menjual nama ayah bu Kartini yang mantan Kades itu kami tiba di tempatnya dengan selamat.

Senyum ramah mantan Kades menyambut kami, seluruh isi rumah bahkan keluar dan menyalami kami….plus dengan senyum lebar masing-masing…ah..sambutan luar biasa. Suasana disini terasa agak kering dan panas, beda sekali dengan areal persawahan yang kami lewati tadi. Dari kejauhan kudengar deru ombak.

“ Di ujung jalan ini sudah laut bu” kata bu Kartini melihatku memegang telinga….

Siang itu, kami dijamu makan siang istimewa… lauknya sederhana tapi terasa begitu nikmat mungkin karena disajikan dengan ihlas apalagi ikan segar itu baru saja diambil dari perahu  tetangga  yang baru saja pulang melaut. Kami menyebutnya juku eja (pink fish) dan ikan kembung, di bakar tanpa bumbu tersaji di atas meja…disebelahnya terdapat piring kecil berisi garam kasar, sedikit air dan Lombok biji (cabe merah). Hmm….betapa nikmat rasanya…apalagi ditambah sayur daun kelor plus kacang ijo dimasak seadanya, juga mengepul...Alhamdulillah.

Setalah membaca hasil transkrip wawancara, Bu Kartini mengajakku berkunjung ke sekolah yang berjarak beberapa meter saja dari rumahnya. Sepanjang jalan silih berganti masyarakat sedikit membungkuk, tersenyum dan menyapa beliau dengan hormat “Bu guru…” begitu sapa khas mereka. Beberapa orang siswa yang berpapasan, menyempatkan diri untuk singgah mencium tangan sang guru bahkan mereka yang sedang membantu orang tua menganyam tikarpun berlari menghambur menyapa sang guru sebelum melanjutkan aktifitas, beberapa diantara mereka bahkan mengikuti kami sehingga kunjungan ini terlihat seperti iring-iringan resmi.

Dalam hati saya iri…”siswa saya gak sampai segitunya”, batinku...mungkin karna sekolah saya letaknya di kota, hatiku berdalih…

Ucapan ‘Selamat Datang di SATAP SalakKo’. Terpampang gagah di gerbang sekolah

“Inilah sekolah kami bu” kata Bu kartini bangga, kulihat senyum merekah di bibir siswa yang mengiringi kami.
Saya sedikit terkejut, bangunan sekolah ini terbilang sangat bagus…apalagi untuk ukuran desa seperti Salakko ini

“Sekolah ini dibangun oleh pihak AusAid bu’ makanya kelihatannya begini, bahkan didalam lumayan canggih, dulu WC siswa dan guru diberikan WC duduk dilengkapi dengan westafel juga cermin…tapi hanya butuh beberapa bulan lalu kloset-kloset itu rusak, itu karna masyarakat disini tidak biasa buang air dengan duduk”. Papar bu Kartini lagi, siswanya terlihat sedikit malu, mungkin merasa disindir…

Hmmm ini sangat kupahami…cerita serupa seringkali kudengar dari teman yang mengajar di pelosok dengan sekolah bantuan AusAid, itu karna mereka kurang lebih mengikuti standard penyandang dana padahal masyarakat setempat belum siap untuk hal serupa.

Bu Kartini terus berkisah….”Disini bu, kalau kelas satu biasanya jumlah siswa bisa sampai 15 hingga 17 orang,  tapi kalau masuk musim panen akan berkurang karna beberapa siswa memilih menjadi buruh musiman[2] untuk membantu keluarganya, naik ke kelas 2 jumlah siswa akan semakin berkurang begitu seterusnya, pokoknya kami disini menempuh segala cara untuk membuat siswa betah”.

Dia juga melanjutkan cerita bahwa tahun lalu adalah kali pertama sekolah itu mengikuti Ujian Akhir Nasional. Seyogyanya ada 6 orang siswa yang ikut tes tapi seorang siswa lebih memilih menjual bironcong daripada mengejar ijasah SMP. Akhirnya katanya hanya 5 siswa yang diikutkan.

“ Itu lagi bu, masa sehari menjelang ujian, satu orang siswa kawin lari!”

“Masyaallahh! Bu”

“Janganmaki bu”, katanya menimpali keterkejutanku dengan logat Makassar yang begitu kental, “Tiga rumah imam kudatangi baru kudapat itu anak”.

Di Makassar, orang yang kawin lari akan menetap di rumah seorang Imam desa yang berfungsi sebagai the guardian kedua sejoli sebelum mereka kembali ke keluarga.

“Bayangkan Bu…subuh-subuh saya jemput itu anak di rumah pak imam lalu dikawal pak imam dan seorang polisi kami menuju sekolah untuk ujian, tiga hari bu, tiga hari setiap subuh saya jemput, alhamdulilah anak itu lulus ujian!”

You know what! Ini pekerjaan yang penuh resiko lho! Mungkin anda pernah mendengar istilah Sirik na Pacce yang jadi pegangan orang Makassar. Prinsip ini mengajarkan tentang kehormatan dan kepedulian. Pelaku kawin lari adalah pelanggar adat, dia telah menghilangkan Sirinya (kehormatanya) dan membuat malu keluarganya sehingga dia tak layak dipaccei (tak perlu dipedulikan lagi). Dalam hukum adat di tempat kami, jika seorang pelaku kawin lari ditemukan oleh tumasirik atau keluarganya, maka dia bisa langsung ‘dihabisi’ di tempat itu! Untuk itulah makanya Bu Kartini bahkan melibatkan polisi untuk menjaga keamanan si anak tadi…subhanallah…

Bulu kuduk saya berdiri mendengar uraiannya ini, saat itu yang ada di fikiran saya adalah beliau ini pantas diundang Andy F Noya sebagai tamu untuk talkshow Kick Andy yang terkenal itu. Ah sudahlah at least saya bisa membaginya pada anda di Wellington ini….yah pejuang pendidikan nan sederhana, perkasa dan berani itu itu bernama Kartini….





[1] Bironcong adalah kue tradisional Makassar, terbuat dari tepung beras dan kelapa parut yang dipanggang, mirip kue pukis.
[2] Buruh musiman untuk panen padi, biasanya mereka berangkat satu truk menuju daerah yang waktu panennya telah tiba, bisa memakan waktu 2-3 minggu hingga panen kelar.

0 comments:

Post a Comment